Bila itu yang terjadi, coba bayangkan: betapa sia-sianya para pelapor (jurnalis) itu terjun ke medan yang tak menyenangkan itu. Mereka telah bersusahpayah melakukan liputan –dengan taruhan nyawa- kemudian menayangkannya, agar kita mendapatkan informasi tentang sebuah Kekejaman Abad 21; dan kita mengabaikannya? Betapa nelangsanya para korban tertindas bila pemirsa televisi mulai berpaling dari laporan kekejaman Israel atas Palestina yang terjadi bertahun-tahun sejak 1948? Para jurnalis akan berhenti meliput (karena sia-sia), dan kedzoliman akan luput dari rekaman sejarah (karena jurnalisme adalah catatan sejarah yang paling jujur).
Tidak. Kita tak ingin itu terjadi. Kita harus terus menyaksikan laporan kekejaman Isarel itu. Kita tak boleh jenuh atau bosan. Justru kita harus terdorong untuk melakukan sesuatu. Apa yang dapat dilakukan oleh warga negara biasa seperti kita? Kita tentu saja bisa menyumbang untuk perjuangan rakyat Palestina, terutama agar mereka tercukupi kebutuhan dasarnya (pangan dan kesehatan). Ini dapat kita lakukan melalui berbagai saluran, di antaranya Bulan Sabit Merah dan lembaga-lembaga sejenis lainnya. Kita juga bisa menitipkan suara kita pada para wakil kita di DPR RI agar tak gampang-gampang menyetujui dibukanya hubungan dagang maupun diplomatik dengan Israel bila mereka tidak menerima masukan Indonesia tentang Konflik Israel-Palestina. Kita juga bisa melakukan demonstrasi dengan turun ke jalan, atau menuliskan pandangan kita melalui media massa. Paling sederhana adalah mendoakan. Semuanya memiliki kemungkinan untuk terjadinya sebuah perubahan.
Di Amerika sendiri perubahan tengah terjadi. Presiden AS sekarang, Obama, jelas berbeda dengan pendahulunya yang doyan perang dan terkesan anti-Islam. Di dunia internasional, semakin banyak negara menyadari kesewenang-wenangan Israel. Israel semakin terkucil. Secara diplomasi internasional jelas ada arah yang berbalik. Secara perang fisik, Israel boleh dikata tidak pernah menang. Para tokoh dari kalangan musuh, diantaranya pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrullah, tegas-tegas mengatakan bahwa militer Israel tak mampu berperang lebih dari 30 hari. Kegagah-perkasaan tentara Israel cuma mitos. Serangan di Lebanon tahun 2006 dan bombardier di Gaza tahun 2008, gagal total.
Mungkin ratusan bangunan hancur, dan ribuan nyawa gugur di Lebanon dan Gaza. Tetapi, apakah ini berarti kemenangan? Inilah pandangan seorang jurnalis dan intelektual Yahudi sendiri, Amira Hass: “Bagi kita, orang Israel, sejarah selalu dimulai ketika orang Palestina melukai kita (tidak sebaliknya). Kita berpikir bahwa bila kita menimbulkan luka yang lebih besar lagi di tubuh Palestina, mereka akhirnya akan mengambil pelajaran (untuk tidak macam-macam) . Sebagian orang menyebut hal ini sebagai ‘keberhasilan’.” Tentu saja, inilah keberhasilan semu itu, keberhasilan yang tak kunjung mewujud.
Lebih ekstrim lagi, lebih banyak intelektual dan kritikus Israel menganggap Israel tak memiliki masa depan. Mula-mula tentu saja, ini dibuktikan dengan semakin surutnya minat orang Yahudi untuk hijrah ke Israel. Kemudian tingginya angka homoseksualitas di Israel yang berakibat rendahnya angka pertumbuhan penduduk. Betapapun Israel merayu dan mengiming-imingi para pendatang, gayung tak bersambut seperti di awal-awal berdirinya negara Israel. Yang paling penting, berubahnya paradigma generasi muda Israel. Bila tadinya mereka rela menjadi serdadu penghancur tetangga dengan semangat patriotik, saat ini mereka merosot menjadi tentara pragmatis yang bekerja demi imbalan yang besar (dibayar mahal). Kelak, akan semakin terbukalah wawasan anak muda Israel tentang semangat pluralisme sebagai ganti sektarianisme, diplomasi sebagai ganti perang, dan kerjasama sebagai ganti penindasan. Indikai merosotnya moral tentara ini telah terjadi saat ini dengan banyaknya tentara desertir. Para penerbang dan pengebom, jumlahnya tak kurang dari 300 orang sejak Perang Lebanon 2006, rela masuk penjara karena menolak melakukan serangan lagi terhadap wilayah dan rakyat Palestina.
Lalu, bagaimana masa depan Israel? Daniel Gordis, penulis Yahudi Amerika, menulis satir jenaka tentang seorang penulis yang memeriksakan kesehatannya pada seorang dokter. Ketika dokter bertanya apa profesinya, sang penulis menjawab, “Penulis”. Dokter bertanya, apa yang ditulisnya. Sang penulis menjawab, “Masa depan Israel”. Sang dokter berkata, “Wah, kalau begitu Anda menulis cerita pendek ya?”
Sungguh telak. Sebuah negara tanpa masa depan. Kalau penulis/pasien tadi berumur pendek, dokter akan menasehatkan “Jangan menulis cerita bersambung”. Namun pasien diperkirakan berumur panjang, obyek penulisanlah yang berumur pendek. Sependek cerpen.
Mari kita lakukan sesuatu semampu kita untuk membantu rakyat Palestina. Setidaknya kita bisa mendoakan agar Allah melindungi kaum yang teraniaya dan melaknat kaum yang menindas sesamanya.
Sirikit Syah, Pengamat Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar